SHARE

Foto: Antara

CARAPANDANG.COM - Longsor di Desa Kalijering, Kecamatan Padureso pada 9 Februari 2021 yang merenggut korban jiwa merupakan tanah bergerak terparah di Kabupaten Kebumen dalam lima tahun terakhir, kata Koordinator Riset Komunitas Tanggap Bencana Kebumen Chusni Ansori.

"Gerakan tanah terjadi pada lereng timur sebuah bukit di tapal batas Kabupaten Kebumen dengan Kabupaten Purworejo tersebut terparah dalam lima tahun terakhir setelah bencana gerakan tanah Sampang 2016 di Kecamatan Sempor," katanya di Kebumen, Kamis (18/2).

Tanah bergerak di Desa Kalijering 2021 melanda enam rumah di kaki bukit hingga hancur, terseret, dan kemudian tertimbun dengan korban jiwa mencapai tiga orang.

Chusni yang juga peneliti utama LIPI itu, menyampaikan dalam peta prakiraan tanah bergerak tanah Kabupaten Kebumen untuk Februari 2021 yang dikeluarkan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), bukit di Desa Kalijering tercakup ke dalam zona potensi tinggi tanah bergerak.

Menurut dia, terdapat indikasi jejak-jejak berbagai tanah bergerak lama di sekitar lokasi kejadian berdasarkan analisis digital elevation model (DEM), maka dimungkinkan tanah bergerak Kalijering adalah gerakan tanah lama yang aktif kembali (tereaktivasi).

Ia menyampaikan di lokasi pernah mengalami tanah bergerak pada 27 Oktober 2020 yang skalanya lebih kecil.

"Citra satelit mengindikasikan gerakan tanah kecil mengekspos lapisan tanah pucuk seluas sekitar 7.000 meter persegi. Dalam pemeriksaan PVMBG, gerakan tanah saat itu menyebabkan timbulnya retakan-retakan tanah dengan lebar lima hingga 20 centimeter sepanjang 10 hingga 30 meter yang terletak di sub-area atas," katanya.

Chusni menyampaikan tanah bergerak Kalijering 2021 dipicu hujan berintensitas tinggi selama dua hari berturut–turut pada 8-9 Februari 2021. Secara umum dapat dikatakan untuk wilayah Indonesia, curah hujan berintensitas lebih dari 70 hingga 80 mm yang terjadi secara berturut–turut merupakan penyebab bencana hidrometeorologi seperti tanah bergerak.

Khusus untuk Jawa Tengah, terdapat hubungan antara intensitas hujan bulanan dengan tanah bergerak, di mana pada saat bulan–bulan dengan intensitas hujan yang tinggi (November–Maret) maka tanah bergerak pun tinggi.

Ia menjelaskan hujan berintensitas tinggi menyebabkan masuknya air ke dalam lereng melalui retakan-retakan yang telah terbentuk sebelumnya. Drainase yang buruk membuat air tidak mudah keluar di kaki lereng sehingga menjadi jenuh di dalam lereng dan membuat bobot lereng bertambah.

"Pada saat yang sama air melumasi bidang kontak antara tanah pucuk dengan batuan dasar, menciptakan bidang gelincir yang mengurangi koefisien gesekan antarbatuan. Saat beban lereng telah melampaui gaya gesek antara tanah pucuk dan batuan dasar, maka terjadi gerakan tanah," katanya.

Pihaknya merekomendasi dalam jangka pendek untuk mengevakuasi penduduk yang semula tinggal di sebelah utara dan selatan dari area tanah bergerak,  mengingat masih ditemukan retakan–retakan tanah di sekitar sub-area atas yang berpotensi menjadi tanah bergerak berikutnya.

Selain itu, katanya, menstabilkan lereng, dengan jalan menimbuni retakan–retakan yang ada dengan lempung dan atau ditutupi terpal untuk mengurangi masuknya air hujan ke dalam lereng, memasang pipa horizontal hingga menembus lereng bawah guna mengurangi tingkat kejenuhan air dalam lereng sekaligus memperbaiki drainase.

Selain itu, menciptakan sistem peringatan dini sederhana, dengan jalan mengukur waktu terjadinya hujan deras dengan jam oleh penanggung jawab yang disepakati.

Apabila hujan deras terjadi selama minimal dua jam maka warga yang tinggal di bagian bawah lereng harus segera dievakuasi dengan membunyikan kentongan/sumber suara lainnya yang disepakati.

Tags
SHARE